Wahai ayah bunda pendidik anak islam...mungkin terkait mainan anak sudah terbiasa dipakai oleh putra-putri kita dan tidak asing lagi. Ada yang berupa mainan edukatif balok, mainan playpad, mainan mobil-mobilan, mainan berupa boneka dll.
Bagaimana
dengan hukum boneka untuk mainan
anak-anak?
Kebanyakan
ulama -dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali- berpendapat bahwa diharamkan
membuat gambar dan patung kecuali untuk boneka (mainan anak-anak).
Al Qodhi
‘Iyadh menukil akan kebolehan tersebut dan ia katakan bahwa ini adalah pendapat
mayoritas ulama. Begitu pula Imam Nawawi mengikuti pendapat ini dalam Syarh
Muslim. Beliau rahimahullah berkata bahwa dikecualikan dari larangan
gambar atau patung yaitu jika dimaksudkan untuk boneka anak-anak karena ada
dalil yang menunjukkan keringanan hal ini.
Kebolehan di
sini terserah mainan tersebut dalam bentuk manusia atau hewan, baik berbentuk
tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada
wujud aslinya seperti kuda yang memiliki sayap.
Namun ulama
Hambali memberikan syarat kebolehannya jika tidak ada kepala atau
anggota badannya tidak sempurna sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan
ulama lainnya tidak mempersyaratkan seperti itu.
Jumhur
(baca: mayoritas ulama) berdalil dengan pengecualian di atas berdasarkan hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –
وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ
فَيَلْعَبْنَ مَعِى
“Aku
dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku
memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari
beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun
bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).
Ibnu Hajar
Al Asqolani rahimahullah menyebutkan, “Para ulama berdalil dengan hadits
ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan
bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari
keumumann hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan
Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa
inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).
Sedangkan
Ibnu Hajar berpendapat bahwa kebolehan bermain dengan boneka seperti ini telah
mansukh (dihapus). Namun hadits ‘Aisyah lainnya menunjukkan bahwa klaim mansukh
tersebut tidaklah tepat.
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha menceritakan,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ
خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ
السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ».
قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ
فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا
هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ».
قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ
فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara
kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain
tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu
bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.”
Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya,
“Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab,
“Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?”
‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua
sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman
mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa
hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An Nasai dalam Al
Kubro no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Hadits ini diceritakan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang
dari perang Tabuk. Ini sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak dimansukh
(dihapus) karena datangnya belakangan.
Ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa
mainan tadi dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika
tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan karena
ada bahasan sendiri tentang hukum memajang gambar.
Dari
penjelasan di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam
rangka mendidik mereka supaya anak perempuan bisa jadi lebih penyayang. Namun aman dan lebih selamat (baca: sikap wara’), boneka tersebut tanpa wujud yang
sempurna, tanpa kepala atau wajahnya dihilangkan. Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Fathul Bari
bi Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al ‘Asqolani, terbitan Dar Thiybah,
cetakan keempat, tahun 1432 H.
Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, terbitan
Wizaroh Al Awqof wasy Syu-un Al Islamiyyah, Kuwait, jilid ke-12.
—
Selesai
disusun sebelum ‘Ashar, 17 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar,
Panggang-Gunungkidul
Dinukil dari Artikel www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar